Setelah memilih antara “Agamis tapi Korupsi atau Kafir tapi Berintegritas”, Lalu Apa?

Sudah ramai dikotomi antara “mending kafir tapi berintegritas daripada agamis tapi korupsi”. Ada juga yang membuatnya menjadi “mending kasar tapi sebetulnya baik daripada sopan tapi sebetulnya jahat”. Bangsa Viking sendiri menyebut pertentangan ini sebagai “Be humble and rude, rather than arrogant and polite”.

Politeness paling sering ditanam dan dipelihara di bumi belahan timur, tumbuh subur dengan eksisnya sistem sosial yang penuh hirarki. Seiring hirarki, tumbuh arogansi. Akhirnya politeness dijadikan topeng arogansi. Di banyak negara berkembang (Indonesia, Nigeria, dll) memunculkan politisi2, pebisnis2 yang menjadikan agama/tradisi sebagai komoditi atau sekedar pelicin ambisi.

Mengamalkan tradisi dan ajaran agama akan membuat seseorang terlalu sering dicap soleh, benar, bagus dan mendapat pengakuan kebenaran prematur terutama dari lingkungannya. Karena itu, seringkali ketika mereka dewasa dan berbuat salah, sulit sekali untuk mengakuinya. Alih-alih jutru menutupinya dengan jargon yang laku di pasaran. Paling mujarab menggunakan jargon tradisi tempat asalnya atau bahkan jargon agama. Tidak heran juga seiring banyaknya pelajar Indonesia yang studi di luar negeri, khususnya negeri barat, sulit berkembang hingga stress karena branding soleh/bagus/pintarnya tidak compatible dengan tolak ukur prestasi di tempat studinya.

Rudeness lebih sering diasosiasikan dengan budaya barat yang memberi ruang lebih untuk ekplorasi sehingga membuka akse pada banyak kesempatan baru. Banyak kesempatan, banyak mencoba, banyak belajar sehingga banyak memaknai. Banyak mencoba menjadikan humble karena terbukti seringkali salah sehingga mampu memaknai.

Seseorang akan sering terbukti salah hanya jika sering mencoba. Lihat lagi di mana budaya eksperimen berkembang dan dihargai. Mungkin itu sebabnya banyak ilmuwan barat yang kafir-kafir justru sangat humble. Hingga ekstrimnya banyak pendatang dari timur yang mendapati hidup dengan cara barat di dunia barat malah justru terasa lebih agamis/Islami atau secara esensi lebih seiring dengan nilai-nilai ketimuran yang dulu di bangku sekolah mereka hapalkan untuk ujian mata pelajaran moral dan agama.

Sejak awal pendekatan timur dan barat dalam memahami dan mengekploitasi dunia memang berbeda. Timur cenderung deduktif, barat induktif. Timur bermodal nilai-nilai leluhur (termasuk tradisi, dogma, agama) mencegah kerusakan yang lebih parah, Barat memperbaiki keadaan dari pengalaman atau mempelajari apa yang salah.

Sekarang jika kita mengidamkan generasi kombinasi polite-humble, atau agamis tapi berintegritas, atau sopan tapi juga baik hatinya, atau dulu saya diajarkan “Otak Jerman, Hati Ka’bah” apa mungkin? Di Indonesia sendiri tampaknya semakin tidak mudah mencari figur untuk generasi kita yang seperti ini menurut saya. Di antara yang sedikit mungkin B. J. Habibie (Bacharuddin Jusuf Habibie)​, Anies Baswedan​, Ricky Elson​? Mohon maaf jika sahabat tidak sependapat.

Lalu, sekarang pertanyaannya bagaimana memproduksi generasi yang diidam-idamkan kebanyakan orang tua. Menjadi pribadi yang humble-polite (plus berbakti pada orang tua, keluarga, agama dan nusa serta bangsa – banyak banget ya PeEr bayi yang lahir di Indonesia)  tapi tetap berdaya saing di dunia atau setidaknya berkontribusi nyata seperti Pak Habibie dan Anies Baswedan dan Ricky Elson? Mungkin dengan melihat sepak terjang tokoh-tokoh tersebut di masa pendidikan dan masa mereka menghabiskan masa awal karirnya mungkin? Misal melihat lgi di negara apa, di institusi mana, siapa mentornya, siapa kolega-koleganya? Karena konon karir professional seseorang paling ditentukan dengan apa yang dilakukannya pada usia 25-35.

Ada juga yang percaya, untuk memiliki anak Indoneia yang polite-humble tapi juga berkompeten bisa dimulai dengan lahir atau sejak dini mendapat pendidikan di Barat. Ada yang ingin pendidikan basis semua di Indonesia dulu agar agamanya kuat baru setelah dewasa meranatau ke luar. Bagaimana menurut sahabat?

Leave a comment