22 Desember 2011
“It can take months, even years..” jawab seorang petugas Maison de Communale, instansi setingkat Dinas Dukcapil kalau di Indonesia, terkait permohonan izin tinggal dan national ID card Belgia untuk Muti.
Take years??! Aku dan Muti hanya akan tinggal di Belgia sepuluh bulan saja, menunggu tahunan bukan jawaban yang kami sangka. Empat bulan sudah sejak kedatangan kami di Belgia, dari jawabannya bukan titik terang, malah seolah pada jalan buntu kami dihadapkan.
Hanya dua minggu sejak dokumen dan aplikasi kami masuk seharusnya kami setidaknya mendapat jawaban, aplikasi ini diterima atau tidak. Minggu berganti bulan. Bulan pertama, seminggu dua kali kami mendatangi commune. Bulan kedua seminggu sekali. Bulan ketiga menjadi dua minggu sekali, dengan keyakinan yang memudar. “Please just wait, we did the all the thing we could, we’ll contact you as soon as we got any response from the State Ministry”. Antara iba melihat perjuangan kami dan tidak bisa membantu lebih jauh, petugas dari commune mencoba menenangkanku yang mulai berargumen dengan nada emosi.
Tanpa Belgian National ID ini Muti berarti belum secara resmi tercatat dalam administrasi pemerintah setempat. Telah habisnya masa berlaku Schnegen visa Muti yang lalu membuat Muti, secara hukum, tidak boleh meninggalkan Belgia. Perjalanan kami ke Belanda yang lalu pun dengan nekat dan penuh asumsi tidak akan terperiksa polisi. Meski kadang terdapat random checking di Rosendaal, stasiun perbatasan yang harus kami lalui. Saat ke Aachen Jerman, kami beruntung bepergian bersama Bu Anita sekeluarga dengan mobil beliau yang berplat CD, Corps Diplomatique. Begitu juga saat menari saman di resepsi diplomatik di Luxembourg, kami bergabung dalam rombongan KBRI lagi-lagi dengan mobil CD.
Njlimet nya situasi yang kami hadapi, aku terpikir untuk mengikuti saran seorang agen yang membantu legalisasi dokumen kami di Jakarta. “Sewa lawyer saja Mas Fadjar, dulu klien saya sewa lawyer, 2000 Euro, keluar ID nya.” Pertanyaannya sekarang, Dua ribu Euro? Mungkin sehari sebelum pulang ke Indonesia pun belum tentu terkumpul.
19 September 2011
Tiga hari terakhir kami telah berkonsultasi dengan petugas commune dan dua lembaga bantuan hukum untuk orang asing di Brussels. Untung saja semua pelayanan ini tidak berbiaya. Keluar rumah sebelum Subuh, mengantri di cuaca gerimis nan dingin bersama para pendatang dari negara lain adalah bayarannya. Informasi yang kami dapat, dengan visa turis yang Muti pegang saat ini, berakhir dalam 4 hari, kami dapat segera langsung mengajukan titre de sejour, izin tinggal kepada Maison de Communale di Belgia. Prosedur ini bertolak belakang dari instruksi kedutaan Belgia di Jakarta, di mana Muti perlu kembali ke Indonesia untuk mengajukan family reunion visa di kedutaan Belgia di Jakarta.
Salah satu pertimbangan kami menikah segera adalah dengan sepuluh bulan hanya berdua di Belgia, periode emas berasmara sekaligus membangun pondasi rumah tangga. Kalau baru sebulan di Belgia sudah harus kembali lagi ke Jakarta, akan banyak waktu terbuang percuma.
Dalam 3 x 24 jam, kami harus memutuskan apakah Muti perlu pulang. Banyak yang menyarankan untuk aku tidak ambil risiko. Karena jika permohonan ini ditolak, Muti akan menjadi penduduk ilegal. Saat kembali ke Indonesia nanti, akan menjadi masalah berkepanjangan. Seorang bapak yang sempat menyatakan dirinya “bertanggung jawab” dengan urusan kependudukan warga Indonesia di Belgia sempat memperingatkanku, ”Hati-hati Mas, kalau deportasi saja nggak masalah, tapi selanjutnya bisa black list masuk Schengen area lima tahun lho!”
“Ya, nanti kalau nggak bisa ke Eropa lagi kami cari sekolah di Amerika, Jepang atau Australia Pak!”
“Oo, hati-hati ya, embassy–embassy itu connected, bisa-bisa istri di black list dimana-mana”
“Ya bismillah aja Pak, namanya juga usaha.”
Aku hanya ingin segera pergi dari hadapan Bapak ini. Panas telinga dan hati rasanya. Aku tahu secara teori beliau benar, tetapi sebagai seorang warga negara aku merasa berhak mendapatkan tawaran solusi selain sekedar peringatan. Bukan emosi semata, aku memilih berargumen dengan beliau karena aku dan Muti tahu dalam hal ini beliau ternyata ketinggalan banyak informasi.
Meski begitu keputusan kami bulat. Muti tidak akan pulang bulan ini tapi menunggu hingga ada jawaban. Kami berpegang pada informasi yang petugas commune saat itu berikan, jika Muti pulang, tidak ada jaminan di Jakarta Muti proses pengurusan family reunion visa akan berjalan cepat. Belajar dari pengalaman senior pelajar Indonesia lain, kadang butuh waktu enam bulan sampai setahun hingga berhasil mendatangkan pasangannya. Aku membatin, “kalau sekarang dipulangin, ngapain kemarin abis kawin langsung diajakin”. Sekali layar terkembang, pantang surut kembali.
8 Agustus 2011
“Bu, kenapa tidak bisa 90 hari? Kita sudah booking hotelnya dan tiketnya untuk tiga bulan..”, aku memelas pada ibu petugas yang melayani kami.
Sambil menyorongkan berkas dokumen dan aplikasi visa Muti, aku sertakan juga undangan pernikahan kami yang tinggal empat hari lagi. Sebagai syukur dan terimakasih, setidaknya aplikasinya sudah diterima. Sekaligus upaya terakhir, menunjukkan keseriusan kami barangkali beliau berubah pikiran.
“Mas, sebenarnya sekarang sedang sulit untuk buat visa Schengen di sini. Sebentar lagi pun pelayanan Schengen akan dipindah ke kedutaan Belanda. Harusnya ini nggak kita lolosin. Tapi karena kalian baru menikah, sekarang aplikasi tetap saya masukkan tapi hanya 30 hari saja ya.”
“Lalu, selama tiga puluh hari saya bisa urus izin tinggal Muti langsung ke gemeente di Belgia kan?”
“Tidak, dalam tiga puluh hari Muti harus pulang dulu, lapor diri kemari bahwa sudah tiba kembali di Indonesia baru bisa mengajukan long stay visa untuk family reunion.”
“Ya, sudah lah Bu, ngga papa 30 hari, yang penting sekarang kami bisa berangkat dulu ke Belgia sama-sama.”
Setelah meminta appointment sejak bulan Juni, baru hari ini, 8 Agustus lima hari sebelum pernikahan, Muti mendapat appointment memasukkan aplikasi visanya. Sebuah proses panjang nan melelahkan. Dua bulan penantian appointment ini bahkan sempat terselingi dinas Muti ke Tokyo, masa magangku di Jenewa. Sementara itu sambil dibantu orang tua kami proses administrasi pernikahan yang melibatkan tiga KUA; Yogyakarta, Bekasi, Tanah Abang dan dua kelurahan terus berjalan. Seriring dengan proses penyebaran undangan pernikahan kami, persiapan gedung dan hidangan untuk para undangan.
Inilah salah satu faktor mengapa begitu banyak kerabat yang terlewat, prioritasku adalah proses “menggondol” Muti ke Belgia. Hanya menikah di masjid atau KUA dengan resepsi keluarga utama saja pun kami bahagia. Yang terpenting adalah bagaimana Muti bisa turut berangkat juga.
31 Oktober 2011
“Hi guys, how are you doing, I am Tom”
“Hi, I’m good. I am Fadjar and this is Muti, my wife”
“Well, I see you guys just keep sitting around here. Do you feel kind of boring or something?”
Hedeuh, ini anak sotoy banget. Ujug-ujug mendekatiku dan Muti yang memang dari awal acara hanya duduk-duduk di sofa. Malam ini, sebagai silaturahmi balasan, kami memenuhi undangan Patty dan Anthonie di acara housewarming apartemen baru mereka. Aku dan Muti yang siangnya jalan-jalan keliling centrum Antwerp memang sudah kelelahan sejak awal acara. Sementara teman-teman dekat Patty dan Anthonie yang lain masih terus berdatangan. Mungkin inilah yang menarik perhatian Tom. Sepasang wajah Asia yang hanya asyik sendiri duduk berdua di pojokan.
Berusaha ramah, aku setengah hati melayani Tom bicara. Awalnya aku tidak begitu berminat, tapi dari obrolan itu aku jadi tahu kalau Tom juga pernah mengikuti program Erasmus Mundus dua tahun yang lalu, ke Universidade do Porto. Mulai ada kesamaan di antara kami, pembicaaan menjadi lebih hangat. Belakangan kuketahui, Tom adalah instruktur berlayar Patty dan Anthonie.
“Nice to talk to you, if you need guide to discover Brussels, just contact me!!”
Di akhir perjumpaan kami mulai akrab. Asyik juga anak ini rupanya. Tahu aku dan Muti tinggal di Brussels, Tom yang dua tahun kuliah di Brussels menawarkan diri menjadi tour guide kami suatu hari di Brussels.
Malam harinya aku bilang pada Muti, “Aneh ya, temennya Patty tadi, kekeuh banget ndeketin kita”.
21 Januari 2012
Hari itu aku, Muti, Patty, Anthonie berjalan kaki berkeliling centrum Brussels diipandu oleh Tom. Menyambut tawarannya tiga bulan lalu, kami mengunjungi Margritte Museum dan beberapa sudut kota seperti Palace de Justice dan Joue de Bal. Dengan Patty dan Anthonie, aku dan Muti sudah begitu dekat kami sudah seperti keluarga sendiri. Dengan Tom, berkat kepiawaannya memandu kami dan mengobrol seharian, hari ini kami menjadi semakin akrab.
Di sebuah kafe kami berhenti untuk beristirahat sebelum akhirnya berpisah. Saat Muti dan yang lain menikmati chocolate chaud dan cappuccino nya masing-masing, aku berbincang dengan Tom.
“So, Tom, tell me what are you doing for work exactly?”
“I am a laywer”
“Lawyer? What do you do exactly, attending court, assisting client?!”
Mendengar kata lawyer seketika aku merasakan impuls yang begitu kuat mengalir di serabut-serabut saraf otakku. Terbayang di kepalaku masalah yang aku dan Muti hadapi dalam pengajuan ID. Seolah membaca isi kepalaku, Tom bercerita panjang lebar tentang law firm tempatnya bekerja. Tom menjelaskan kantornya umumnya membantu multinational company untuk masalah legal draft terutama yang berkaitan dengan hiring pekerja asing. Perusahaan-perusahaan ini perlu membuat kontrak yang sesuai dengan kebutuhan pekerja asing dan hukum di Belgia.
“If your firm assists these companies, will there be someone works on the foreign worker side then?”
Aku penasaran, pertemuan kami dengan Tom pastilah bukan tanpa arti. Dengan fakta bahwa firm tempat Tom bekerja berkecimpung dengan hukum bagi orang asing, sudah seharusnya Tom juga familiar dengan situasi yang aku dan Muti hadapi.
“Yes, which we do also. There are eleven of us in the office, ten of us working on legal draft to meet companies needs and one, which is me, working to assist the expatriate to win their rights, for example for their retirement and other needs such as gaining work permit.”
“Work permit for foreigner? You must be then familiar with all the regulation regarding immigration, one’s settlement and family reunion?!”
Palpitasi, jantungku berdetak semakin cepat, aku merasa segala kebuntuan kami akan segera berakhir, dengan cara yang tidak pernah kami duga.
“Yes, that is my area of work.”
Alhamdulilah!! Akhirnya setelah berbulan-bulan aku bertemu dengan orang yang capable terkait masalah izin tinggal Muti. Selama ini kami hanya diberi saran sana-sini namun tidak ada yang benar-benar bermakna. Selain Gusti Allah, hanya petugas commune, petugas lembaga bantuan hukum yang pernah kami datangi, dan kami sendiri yang benar-benar mengetahui situasi yang kami hadapi. Bahkan kadang kami tahu lebih baik dari mereka karena belakangan ini membuat beberapa perubahan peraturan terkait ke-imigrasi-an. Sementara para petugas ini tidak selalu meng-update-nya. Perubahan peraturan ini sempat membuat kami semakin patah arang. Tepat tiga hari setelah aplikasi Muti masuk ke commune terdapat peraturan baru yang berlaku mulai 22 September 2011 dan berbunyi, hanya mereka yang sudah menetap di Belgia selama dua tahun yang dapat mengajukan family reunion.
“Well, tonight just send me the number of your application. I will make a call to the commune and update your application status. As a lawyer, I have a particular line to them. I don’t promise anything but I hope I can give some intervention.”
7 Februari 2011
Hari ini di kantor KBRI kami berjumpa dengan Bapak Aria. Seorang staf diplomatik di KBRI Brussel yang sangat helpful dan attentive. Mendengar sedikit penjelasanku, beliau langsung memahami urgensi situasi kami. Secara spontan beliau mengajak aku dan Muti bergabung untuk makan siang bersama istri beliau, Ibu Diah. Sepuluh menit beliau mendengarkan aku berbicara, memahami lebih jauh situasi yang ada.
“Ok, I got your point Mas Fadjar. Right after this lunch I will write you a letter regarding to your situation. This letter may not assist directly in a way of your permit application procedure, but at least you will have something to declare!”
Sejak kami mengajukan permohon izin tinggal Muti, kami tidak mendapatkan surat bukti penyerahan dokumen aplikasi izin tinggal. Tidak ada bukti hitam di atas putih. Artinya kami tidak bisa membuktikan pada pihak yang berwenang kalau kami sedang dalam masa pengajuan izin tinggal. Kondisi yang memberatkan jika kami harus berurusan dengan polisi misalnya. Apalagi visa Muti sudah habis sejak lama. Dengan sigap Pak Aria membuatkan sebuah surat keterangan menjelaskan situasi kami dengan kop Kedutaan Besar RI.
Secara administrasi, kami tidak dapat menyertakan surat ini sebagai pendukung untuk mempercepat prosedur izin tinggal Muti. Tetapi secara psikologis surat ini berdampak besar karena dengan demikian sebagai WNI kami merasa dilindungi.
9 Februari 2011
Pulang dari perpus, aku mampir sejenak ke rumah untuk sholat zuhur dan ashar sebelum berangkat ke tempat les sekaligus mengambil bekal berbuka yang Muti sudah siapkan. Muti sendiri sudah berangkat ke toko buku dan berencana berbuka di Masjid Agung Brussels di daerah Schumann.
Sambil membuka sepatu, kuperiksa ponselku. 2 missed call. You have one new voice message.
“Hello, Mr. Wibowo, this is a call from commune of Woluwe Saint Lambert to inform that your wife will have a card until October 2012. Could you..”
Alhamdulillah!! Langsung kutelpon Muti yang sudah di jalan untuk kembali arah menuju dan bertemu di commune, bergegas mem-follow up panggilan ini.
“Vous allez bien Monsieur, Madame Wibowo ??!”
Madame Martins, petugas commune yang sudah melayani kami dengan sabar sejak pertama kali kami datang, tersenyum menyambut kami di balik kaca loketnya.
“Oui, absolument, et vous ?!”
Kami pun memperhatikan petunjuk Madame Martins untuk prosedur berikutnya.
“Yes, there was a lawyer called us. I am also surprised of your application process. Your case is very rare. Most of application in your situation may take years even do not get any response from the ministry, but you does,” Madame Martins menjelaskan.
Akhirnya, untuk pertama kalinya kami keluar gedung Maison de Communale Woluwe Saint Lambert ini dengan perasaan lega dan penuh suka cita. InsyaAllah sebentar lagi ID card Muti jadi. Kartu yang memberikan kebebasan untuk Muti mengunjungi 29 negara di Schengen area.
“Nggak kebayang ya sayang kita kenal Patty, dari dia kita kenal Tom yang awalnya maksa tapi justru lewat dia dapat jalan keluarnya. “Gimana pertemanan dan silaturahmi bisa begitu bernilai jauh dari yang bisa kita kira”.
“Ya Mas, this is one thing among many things that money can’t buy”.
Senja di Brussels mengiringi langkah kaki kami, pulang dengan lega hati mengiringi, suhu minus 12 celcius tak terasa lagi.
22 Februari 2012
Hari ini, sehari sebelum tanggal ulang tahunnya, positif Muti menerima Belgian national ID card nya. Mulai besok, Muti sudah bebas untuk beperjalanan ke negara-negara Schengen, “membayar” tahun AFS-nya yang tak sempat sekalipun meninggalkan Italia.
“Selamat ulang tahun Sayang, ini kado ulang tahun untuk kamu dari pemerintah Belgia.”
- Titre de Sejours, Mutiara Indriani
0.000000
0.000000